Selasa, 11 September 2012

asal usul nama indonesia

SEJARAH NAMA INDONESIA
Nama Indonesia berasal dari “Indo” dan “Nesie” (dari bahasa Yunani: Nesos) berarti Kepulauan Hindia. Adapun kata “Nesos” itu hampir berdekatan dengan kata “Nusa” dalam Bahasa Indonesia, yang berarti pulau. Orang pertama yang menggunakan nama Indonesia ialah James Richardson Logan (1869) dalam kumpulan karangannya berjudul “The Indian Archipelago and Eastern Asia” terbit dalam Journal of the Asiatic Society of Bengal (1847-1859). Pertama kali dipakai nama Indonesia pada tahun 1850.
Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan).Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang)Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.

Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi(kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra Sampai hari ini jemaah kita masih sering dipanggil “Jawa” oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. “Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh Jawi (Sumatra, Sulawesi , Sunda, semuanya Jawa)” kata seorang pedagang di Pasar Seng, Mekah
Masa kedatangan Bangsa EropA
Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia . Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang itu beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab , Persia , India , dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah Hindia”. Semenanjung Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”. Sedangkan tanah air kita memperoleh nama “Kepulauan Hindia” (Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau “Hindia Timur” (Oost
Indie, East Indies , Indes Orientales) . Nama lain yang juga dipakai adalah “Kepulauan Melayu”(Maleische Archipel, Malay Archipelago , l’Archipel Malais) Ketika tanah air kita terjajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch- Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur)
Berbagai Usulan Nama
Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” (bahasa Latin insula berarti pulau).
Begitu pula Sir William Edward Maxwell (1897) seorang ahli hukum berkebangsaan Inggris yang menjabat sebagai sekretaris jenderal straits settlements yang kemuduian menjadi gubernur Pantai Mas pernah memakai nama ini di dalam kata pembukaan buku “Penuntun Bahasa-bahasa Melayu” hasil karyanya sendiri. Dalam buku ini ia menulis “The Island of Indonesia.”
Nama Indonesia dipopulerkan oleh Profesor Adolf Bastian (1826-1905) seorang ahli ethnology dan anthropology bangsa Jerman yang pernah menjadi guru besar pada universitas di Berlin dalam ilmu bahasa. Bastian ini pernah menulis sebuah kitab bernama “Indonesian Odder Die Inseln des Malayaschen Archipelago” (1884-1889). Dalam bukunya ini ia menegaskan arti kepulauan ini. Sarjana ini berpendapat bahwa Kepulauan Indonesia meliputi suatu daerah yang sangat luas, di dalamnya termasuk Madagaskar di barat, sampai Pulau Formosa di timur dan dengan Nusantara sebagai pusatnya, adalah merupakan suatu totalitas. Dengan demikian maka sudah sejak tahun 1850 dan 1884 nama Indonesia telah dikenal dalam ilmu pengetahuan Indonesia, terdiri dari kurang-lebih 10.000 pulau, 3.000 pulau diantaranya berpenduduk dan didiami manusia. Luasnya meliputi 1.491.564 km ².
Adapun dalam dunia politik nama Indonesia sudah mulai dipergunakan oleh para mahasiswa kita di Negeri Belanda pada tahun 1922 dengan mendirikan perkumpulan yang bernama Perhimpunan Indonesia. Sesudah itu pada tahun 1927 Ir. Soekarno dan kawan-kawan mendirikan suatu partai politik dengan nama Persyarikatan Nasional Indonesia yang kemudian berganti nama menjadi Partai Nasional Indonesia.
Tahun 1912 sebetulnya secara tidak langsung ini sudah dipergunakan, yaitu sewaktu dr. Tjipto Mangunkusumo, dr. E.F.E. Dauwes Dekker dan Suwardi Surjaningrat mendirikan parpol bernama Indische Partij. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa baru sejak lahirnya pergerakan nasional, nama Indonesia ini dipergunakan untuk mengganti sebutan Nederlandsch-Indie.
Segala usaha pada zaman sebelum pecahnya perang dunia II, untuk mengganti dalam perundang-undangan sebutan Nederlandsch-Indie dengan Indonesia; dan Inboorling, Inlander, Inheemsche dengan Indonesia tetap mengalami kegagalan, dimana pihak koloni Belanda selalu mendasarkan keberatan-keberatannya atas dasar pertimbangan “Juridis.” Nama Indonesiers hanya boleh dipakai secara resmi dalam surat-menyurat saja (surat edaran 10 Oktober 1940). Sesudah UUD Belanda mengalami perubahan yang berlaku sejak 20 September 1948, barulah dalam UU sebutan Nederlandsch-Indie diganti menjadi Indonesia.
Selain nama Indonesia ada lagi 7 nama yang telah diberikan oleh bangsa asing kepada kepulauan Indonesia ini.
1.Hindia
Nama Hindia ini adalah buatan dari Herodotus, seorang ahli ilmu sejarah berkebangsaan Yunani (484-425 SM) yang dikenal sebagai bapak Ilmu Sejarah. Adapun nama Hindia ini baru digunakan untuk kepulauan ini, oleh Polomeus (100-178), seorang ahli ilmu bumi yang terkenal. Dan nama Hindia ini menjadi terkenal, sesudah Bangsa Portugis di bawah pimpinan : Vasco da Gama mendapati kepulauan ini dengan menyusur sungai Indus tahun 1948 M.
2.Nederlandsch Oost-Indie
Nama ini diberikan oleh orang-orang Belanda sesudah mereka berkuasa. Kemudian nama ini ditukar dengan “Nedelandsch Indie.” Seperti diketahui, Bangsa Belanda untuk pertama kalinya ke Indonesia pada tahun 1596 dibawah pimpinan Cornelis de Houtman.
3.Insulinde
Nama ini diberikan oleh E.D. Dekker (Multatuli) di dalam bukunya Max Havelar tahun 1860, kemudian nama ini dipopulerkan oleh Prof. P.J. Veth. Multatuli membuat nama baru ini karena ia jijik mendengar nama Nederlandsch Indie yang diberikan oleh Belanda. Adapun asal usul perkataan tersebut ialah berasal dari perkataan “Insulair,” “Insula,” dan “Indus.” Insula bahasa latin yang berarti pulau. Indus berarti Hindia, sedangkan Insulinde artinya ialah pulau Hindia.
4.Nusantara
Nama ini ditemukan dalam perpustakaan India kuno, yang menyebut negeri ini Nusantara. Adapun Nusantara atau Dwipantara artinya adalah pulau-pulau yang berada diantara benua-benua. Dalam kitab Negarakertagama disebutkan, bahwa nusantara ialah pulau-pulau di luar tanah Jawa. Sedangkan dalam sejarah Melayu dipakainama NUSA TAMARA. Nama inipun sesungguhnya berasal dari perkataan yang diucapkan Nusantara.
5.The Malay Archipelago
Nama ini dibuat oleh Alfred Russel Wallace dalam tahun 1869, sesudah ia mengadakan perlawanan ke tanah air, dari tahun 1854-1862. Adapun “Malay”-artinya ialah Melayu, sedangkan “Archipelago” dari Bahasa Belanda atau Perancis ; “Archipel” yang berasal dari Bahasa Yunani; “Archipelagus” (dari asal kata Archi = memerintah; plagues = laut). Dengan demikian berarti menguasai laut, atau berarti kumpulan pulau-pulau Melayu.
6.L’Inde Insulair
Nama “L’Insulair atau ‘L’Archipel” adalah karya dari Jean Jacquues Elisee Recles (1830-1905) bersama saudaranya Mesime Racles. Nama ini tidak begitu dikenal dan tidak masyur, karena umumnya hanya orang Perancis sajalah yang mempergunakannya.
7.Hindia Timur
Nama ini adalahkarya khas dari ogranisasi Muhammadiyah, yang digunakan di masa penjajahan dahulu untuk mengganti nama “East Indies”. Nama tersebut digunakan resmi oleh organisasi ini. Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tahun 1912 di kota Yogyakarta.
Demikinlah sejarah singkat mengenai asal-usul nama Indonesia serta nama lainnya diberikan kepada tanah air kita yang cantik dan kita cintai ini.

Sumber
     http://suryantara.wordpress.com/2007/10/28/sejarah-nama-indonesia/
     http://yudhim.blogspot.com/2009/07/sejarah-nama-indonesia.html
     http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_nama_Indonesia

Sabtu, 08 September 2012

pendidikan masa kolonial

PENDAHULUAN

Pada masa penjajahan belanda bisa dikatakan yaitu salah satu pondasi berbagai sistem yang berlaku di Indonesia. Mulai dari sistem birokrasi pemerintahan, perekonomian, pendidikan, bahkan hingga tata cara pengairan masih banyak bergantung pada sarana-sarana pengairan peninggalan Belanda. Dari sekian banyak sistem yang ditinggalkan Belanda di Indonesia, salah satu hal yang penting untuk dikaji adalah perubahan sistem pendidikan di Indonesia. Hal ini disebabkan pendidikan bisa dikatakan salah satu poin penting dalam pembangunan negara dan peningkatan kesejahteraan rakyat pada umumnya.  Sistem pendidikan yang baik sedikit banyak akan dapat merubah nasib masyarakat bahkan menaikan derajat di mata masyrakat yang lainnya, apalagi jika dijalankan dengan semestinya. Oleh karena itu, sepatutnya kita mempelajari perubahan sistem pendidikan di Indonesia pada masa kolonial serta implikasinya pada sistem pendidikan saat ini.


PENDIDIKAN MASYRAKAT INDONESIA SEBELUM MASA KOLONIAL

Komunitas Paduraksa, sebuah komunitas pemerhati sejarah budaya Indonesia, dalam sebuah tulisan berjudul "Sedikit Uraian Sejarah Pendidikan Indonesia", mengelompokkan pendidikan Indonesia berdasarkan waktu keberadaannya menjadi tiga. Yang pertama adalah pendidikan Indonesia pada masa Hindu-Budha, pendidikan pada masa Islam, dan pendidikan pada zaman kolonial.
Pada masa Hindu-Budha, dikatakan di uraian tersebut pula, mengutip dari tesis Agus Aris Munandar yang berjudul "Kegiatan Keagamaan di Pawitra Gunung Suci di Jawa Timur Abad 14—15 (1990)", pendidikan dikenal dengan istilah "Karsyan", sebuah tempat yang diperuntukan bagi petapa dan untuk orang-orang yang mengundurkan diri dari keramaian dunia dengan tujuan mendekatkan diri dengan dewa tertinggi. Karsyan sendiri dibagi menjadi dua bentuk yaitu patapan dan mandala. Di mana patapan adalah tempat mengasingkan diri, atau bertapa, bagi seseorang dengan tujuan mencari petunjuk tentang apa yang dia inginkan. Sedangkan mandala adalah sebuah tempat suci untuk para pendeta, murid, dan mungkin pengikutnya untuk kegiatan keagamaan, dan pembaktian diri pada agama dan nagara.  Pada masa Islam, menurut tulisan Komunitas Paduraksa, pendidikan yang  ada bisa dikatakan merupakan adaptasi dengan sistem pendidikan pada masa Hindu Budha. Adaptasi antara sistem mandala dan uzlah (menyendiri) tampak pada sistem pendidikan yang mengikuti sistem patapan, saat guru dan murid berada dalam satu lingkungan permukiman yang disebut pondok pesantren, dimana pondok pesantren tersebut biasanya jauh dari keramaian dan terkesan menyendiri (Schrieke, 1957: 237; Pigeaud, 1962, IV: 484—5; Munandar 1990: 310—311).
Pada pendidikan masa Hindu-Budha dan pendidikan masa Islam, menurut saya tujuan dari pendidikan adalah untuk mencari jati diri dan tujuan hidup. Pencarian pengetahuan tentang untuk apa dirinya itu harus hidup. Hal-hal yang diajarkan juga sebatas pemikiran-pemikiran tentang manusia, ilmu-ilmu keagamaan ditambah ilmu-ilmu perdagangan dan pengolahan alam. Terlihat dari tujuan belajar pada masa Hindu-Budha, yaitu mencari petunjuk tentang apa yang diinginkan, baik buruknya hingga cara pencapaiannya. Sedangkan saat pendidikan masa Islam, tidak jauh berbeda dengan sistem mandala dimana merupakan tempat “belajar bersama”, mempelajari untuk apa manusia hidup, hubungannya dengan Tuhan dan juga hubungan dengan alam sekitar dan sebagainya.



PENDIDIKAN MASYARAKAT INDONESIA PADA MASA KOLONIAL

Saat Belanda masuk ke Indonesia, pendidikan yang ada diawasi secara ketat oleh Belanda. Hal tersebut dikarenakan Belanda tahu bahwa melalui pendidikan gerakan-gerakan perlawanan halus terhadap keberadaan Belanda di Indonesia pada saat itu dapat muncul dan menyulitkan Belanda saat itu. Usaha Belanda untuk membatasi pendidikan terhadap kalangan pribumi terus berlanjut, hingga saat muncul kritik dari para kaum humanis Belanda. Sindiran dan kritik para kaum humanis yang dituangkan dalam tulisan seperti Max Havelaar (Max Havelaar: Or the Coffee Auctions of the Dutch Trading Company, Multatuli, 1860) sedikit banyak telah memaksa Belanda untuk memberlakukan politik etis (Ethical Policy - ‘Ethische Politiek), atau juga dikenal sebagai politik balas budi, pada sekitar tahun 1901.  Tiga poin utama dalam politik etis Belanda pada masa itu adalah irigasi, migrasi, dan edukasi. Dalam poin edukasi, pemerintah Belanda mendirikan sekolah-sekolah gaya barat untuk kalangan pribumi. Akan tetapi keberadaan sekolah-sekolah ini ternyata tidak menjadi sebuah saran pencerdasan masyarakat pribumi. Pendidikan yang disediakan Belanda ternyata hanya sebatas mengajari para pribumi berhitung, membaca, dan menulis. Setelah lulus dari sekolah, akhirnya mereka dipekerjakan sebagai pegawai kelas rendah untuk kantor-kantor Belanda di Indonesia.
Pada masa ini pula, pendidikan-pendidikan rakyat juga turut muncul. Sekolah-sekolah rakyat seperti Taman Siswa dan Muhammadiyah muncul dan berkembang. Jadi dapat dikatakan pada masa tersebut terdapat tiga tipe jalur pendidikan yang berbeda. Pertama adalah sistem pendidikan dari masa Islam yang diwakili dengan pondok pesantren, pendidikan bergaya barat yang disediakan oleh pemerintah Hindia-Belanda, dan terakhir pendidikan "swasta pro-pribumi" seperti Taman Siswa, Muhammadiyah, dan lain-lain. Meskipun demikian, pada dasarnya banyak kemiripan dalam sistem pendidikan ala Hindia Belanda dan pendidikan yang disediakan oleh kaum-kaum "pro-pribumi".


PENGARUH SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA PADA MASA KOLONIAL DENGAN SISTEM PENDIDIKAN SAAT INI
Disebutkan di atas bahwa pendidikan pada masa kolonial bertujuan untuk mengisi kekosongan pegawai rendahan di kantor-kantor Belanda. Pada saat ini, bisa dikatakan sistem pendidikan yang ada hampir mirip tujuannya dengan sistem pada saat kolonial. Yaitu menciptakan manusia yang siap kerja, entah itu menjadi buruh, pegawai negeri, karyawan rendahan, dan sebagainya. Pendidikan yang diberikanpun tipenya sama, kalau dahulu untuk menjadi pegawai rendahan hanya butuh bisa baca tulis dan berhitung, saat ini ilmu yang diberikan dalam pendidikan seakan-akan hanyalah ilmu untuk pengisi kurikulum dan mengejar nilai akademis atau gelar. Sekalinya diberikan pengetahuan yang dapat diterapkan, ilmu tersebut diberikan dalam bentuk jadi, tidak perlu dipikirkan kembali. Bisa dikatakan pendidikan Indonesia saat ini seakan-akan hanya memberikan buku pedoman bagaimana harus bergerak tanpa harus berfikir.  Akibatnya, keberadaan kaum-kaum pribumi Indonesia saat ini juga tidak jauh-jauh dari posisi "pegawai rendahan" seperti tujuan pemberian pendidikan pada masa kolonial. Salah satu penyebab utamanya adalah kekurangan pengalaman bagaimana harus berfikir yang seharusnya distimulasi pada saat pendidikan berlangsung. Penyebab lainnya adalah dangkalnya impian yang muncul tentang tujuan dari pendidikan tersebut. Tersebar secara umum di masyarakat, tujuan pendidikan adalah supaya kelak dapat bekerja dan mencari uang. Tidak terbersit pemikiran dimana ilmu yang didapatkan pada saat pendidikan berlangsung tersebut akan dipergunakan. Dan dengan jalan apa ilmu-ilmu yang didapat di dalam pendidikan akan berguna nantinya.

Sejarah pendidikan yang akan diulas adalah sejak kekuasaan Belanda yang menggantikan Portugis di Indonesia. Brugmans menyatakan pendidikan ditentukan oleh pertimbangan ekonomi dan politik Belanda di Indonesia (Nasution, 1987:3). Pendidikan dibuat berjenjang, tidak berlaku untuk semua kalangan, dan berdasarkan tingkat kelas. Pendidikan lebih diutamakan untuk anak-anak Belanda, sedangkan untuk anak-anak Indonesia dibuat dengan kualitas yang lebih rendah. Pendidikan bagi pribumi berfungsi untuk menyediakan tenaga kerja murah yang sangat dibutuhkan oleh penguasa. Sarana pendidikan dibuat dengan biaya yang rendah dengan pertimbangan kas yang terus habis karena berbagai masalah peperangan.

Kesulitan keuangan dari Belanda akibat Perang Dipenogoro pada tahun 1825 sampai 1830 (Mestoko dkk,1985:11, Mubyarto,1987:26) serta perang Belanda dan Belgia (1830-1839) mengeluarkan biaya yang mahal dan menelan banyak korban. Belanda membuat siasat agar pengeluaran untuk peperangan dapat ditutupi dari negara jajahan. Kerja paksa dianggap cara yang paling ampuh untuk memperoleh keuntungan yang maksimal yang dikenal dengan cultuurstelsel atau tanam paksa (Nasution, 1987:11). Kerja paksa dapat dijalankan sebagai cara yang praktis untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Rakyat miskin selalu menjadi bagian yang dirugikan karena digunakan sebagai tenaga kerja murah. Rakyat miskin yang sebagian bekerja sebagai petani juga dimanfaatkan untuk menambah kas negara penguasa.

Untuk melancarkan misi pendidikan demi pemenuhan tenaga kerja murah, pemerintah mengusahakan agar bahasa Belanda bisa diujarkan oleh masyarakat untuk mempermudah komunikasi antara pribumi dan Belanda. Lalu, bahasa Belanda menjadi syarat Klein Ambtenaarsexamen atau ujian pegawai rendah pemerintah pada tahun 1864. (Nasution, 1987:7). Syarat tersebut harus dipenuhi para calon pegawai yang akan digaji murah. Pegawai sedapat mungkin dipilih dari anak-anak kaum ningrat yang telah mempunyai kekuasaan tradisional dan berpendidikan untuk menjamin keberhasilan perusahaan (Nasution, 1987:12). Jadi, anak dari kaum ningrat dianggap dapat membantu menjamin hasil tanam paksa lebih efektif, karena masyarakat biasa mengukuti perintah para ningrat. Suatu keadaan yang sangat ironis, kehidupan terdiri dari lapisan-lapisan sosial yaitu golongan yang dipertuan (orang Belanda) dan golongan pribumi sendiri terdapat golongan bangsawan dan orang kebanyakan.

Pemerintah Belanda lambat laun seolah-olah bertanggung jawab atas pendidikan anak Indonesia melalui politik etis. Politik etis dijalankan berdasarkan faktor ekonomi di dalam maupun di luar Indonesia, seperti kebangkitan Asia, timbulnya Jepang sebagai Negara modern yang mampu menaklukkan Rusia, dan perang dunia pertama (Nasution, 1987:17). Politik etis terutama sebagai alat perusahaan raksasa yang bermotif ekonomis agar upah kerja serendah mungkin untuk mencapai keuntungan yang maksimal. Irigasi, transmigrasi, dan pendidikan yang dicanangkan sebagai kedok untuk siasat meraup keuntungan. Irigasi dibuat agar panen padi tidak terancam gagal dan memperoleh hasil yang lebih memuaskan. Transmigrasi berfungsi untuk penyebaran tenaga kerja, salah satunya untuk pekerja perkebunan. Politik etis menjadi program yang merugikan rakyat.

Pendidikan dasar berkembang sampai tahun 1930 dan terhambat karena krisis dunia, tidak terkecuali menerpa Hindia Belanda yang disebut mangalami malaise (Mestoko dkk, 1985 :123). Masa krisis ekonomi merintangi perkembangan lembaga pendidikan. Lalu, lembaga pendidikan dibuat dengan biaya yang lebih murah. Kebijakan yang dibuat termasuk penyediaan tenaga pengajar yang terdiri dari tenaga guru untuk sekolah dasar yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan guru (Mestoko, 1985:158), bahkan lulusan sekolah kelas dua dianggap layak menjadi guru. Masalah lain yang paling mendasar adalah penduduk sulit mendapatkan uang sehingga pendidikan bagi orang kurang mampu merupakan beban yang berat. Jadi, pendidikan semakin sulit dijangkau oleh orang kebanyakan. Pendidikan dibuat untuk alat penguasa, orang kebanyakan menjadi target yang empuk diberi pengetahuan untuk dijadikan tenaga kerja yang murah.

Pendidikan dibuat oleh Belanda memiliki ciri-ciri tertentu. Pertama, gradualisme yang luar biasa untuk penyediaan pendidikan bagi anak-anak Indonesia. Belanda membiarkan penduduk Indonesia dalam keadaan yang hampir sama sewaktu mereka menginjakkan kaki, pendidikan tidak begitu diperhatikan. Kedua, dualisme diartikan berlaku dua sistem pemerintahan, pengadilan dari hukum tersendiri bagi golongan penduduk. Pendidikan dibuat terpisah, pendidikan anak Indonesia berada pada tingkat bawah. Ketiga, kontrol yang sangat kuat.

Pemerintah Belanda berada dibawah kontrol Gubernur Jenderal yang menjalankan pemerintahan atas nama raja Belanda. Pendidikan dikontrol secara sentral, guru dan orang tua tidak mempunyai pengeruh langsung politik pendidikan. Keempat, Pendidikan beguna untuk merekrut pegawai. Pendidikan bertujuan untuk mendidik anak-anak menjadi pegawai perkebunan sebagai tenaga kerja yang murah. Kelima, prinsip konkordasi yang menjaga agar sekolah di Hindia Belanda mempunyai kurikulum dan standar yang sama dengan sekolah di negeri Belanda, anak Indonesia tidak berhak sekolah di pendidikan Belanda. Keenam, tidak adanya organisasi yang sistematis. Pendidikan dengan ciri-cri tersebut diatas hanya merugikan anak-anak kurang mampu. Pemerintah Belanda lebih mementingkan keuntungan ekonomi daripada perkembangan pengetahuan anak-anak Indonesia.

Pemerintah Belanda juga membuat sekolah desa. Sekolah desa sebagai siasat untuk mengeluarkan biaya yang murah. Sekolah desa diciptakan pada tahun 1907. Tipe sekolah desa yang dianggap paling cocok oleh Gubernur Jendral Van Heutz sebagai sekolah murah dan tidak mengasingkan dari kehidupan agraris (Nasution, 1987:78). Kalau lembaga pendidikan disamakan dengan sekolah kelas dua, pemerintah takut penduduk tidak bekerja lagi di sawah. Penduduk diupayakan tetap menjadi tenaga kerja demi pengamankan hasil panen.

Sekolah desa dibuat dengan biaya serendah mungkin. Pesantren diubah menjadi madrasah yang memiliki kurikulum bersifat umum. Pesatren dibumbui dengan pengetahuan umum. Cara tersebut dianggap efektif, sehingga pemerintah tidak usah membangun sekolah dan mengeluarkan biaya (Nasution, 1987:80). Guru sekolah diambil dari lulusan sekolah kelas dua, dianggap sanggup menjadi guru sekolah desa. Guru yang lebih baik akan digaji lebih mahal dan tidak bersedia untuk mengajar di lingkungan desa.

Masa penjajahan Belanda berkaitan dengan pendidikan merupakan catatan sejarah yang kelam. Penjajah membuat pendidikan sebagai alat untuk meraup keuntungan melalui tenaga kerja murah. Sekolah juga dibuat dengan biaya yang murah, agar tidak membebani kas pemerintah. Politik etis menjadi tidak etis dalam pelaksanaannya, kepentingan biaya perang yang sangat mendesak dan berbagai masalah lain menjadi kenyataan yang tercatat dalam sejarah pendidikan masa Belanda.

Belanda digantikan oleh kekuasaan Jepang. Jepang membawa ide kebangkitan Asia yang tidak kalah liciknya dari Belanda. Pendidikan semakin menyedihkan dan dibuat untuk menyediakan tenaga cuma-cuma (romusha) dan kebutuhan prajurit demi kepentingan perang Jepang (Mestoko, 1985 dkk:138). Sistem penggolongan dihapuskan oleh Jepang. Rakyat menjadi alat kekuasaan Jepang untuk kepentingan perang. Pendidikan pada masa kekuasaan Jepang memiliki landasan idiil hakko Iciu yang mengajak bangsa Indonesia berkerjasama untuk mencapai kemakmuran bersama Asia raya. Pelajar harus mengikuti latihan fisik, latihan kemiliteran, dan indoktrinasi yang ketat.

Sejarah Belanda sampai Jepang dipahami sebagai alur penjelasan kalau pendidikan digunakan sebagai alat komoditas oleh penguasa. Pendidikan dibuat dan diajarkan untuk melatih orang-orang menjadi tenaga kerja yang murah. Runtutan penjajahan Belanda dan Jepang menjadikan pendidikan sebagai senjata ampuh untuk menempatkan penduduk sebagai pendukung biaya untuk perang melalui berbagai sumber pendapatan pihak penjajah. Pendidikan pula yang akan dikembangkan untuk membangun negara Indonesia setelah merdeka.

Setelah kemerdekaan, perubahan bersifat sangat mendasar yaitu menyangkut penyesuaian bidang pendidikan. Badan pekerja KNIP mengusulkan kepada kementrian pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan supaya cepat untuk menyediakan dan mengusahakan pembaharuan pendidikan dan pengajaran sesuai dengan rencana pokok usaha pendidikan (Mestoko, 1985:145). Lalu, pemerintah mengadakan program pemberantasan buta huruf. Program buta huruf tidak mudah dilaksanakan dengan berbagai keterbatasan sumber daya, kendala gedung sekolah dan guru. Kementrian PP dan K juga mengadakan usaha menambah guru melalui kursus selama dua tahun. Kursus bahasa jawa, bahasa Inggris, ilmu bumi, dan ilmu pasti(Mestoko dkk, 1985:161). Program tersebut menunjukkan jumlah orang yang buta huruf seluruh Indonesia sekitar 32,21 juta (kurang lebih 40%), buta huruf pada tahun 1971. Buta huruf yang dimaksud adalah buta huruf latin (Mestoko dkk, 1985:327). Jadi, kegiatan pemberantasan buta huruf di pedesaan yang diprogramkan oleh pemerintah untuk menanggulangi angka buta aksara di Indonesia dan buta pengetahuan dasar, tetapi pendidikan kurang lebih tidak berdampak pada rumah tangga kurang mampu.

Kemerdekaan Indonesia tidak membuat nasib orang tidak mampu terutama dari sektor pertanian menjadi lebih baik. Pemaksaan atau perintah halus gampang muncul kembali, contoh yang paling terkenal dengan akibat yang hampir serupa seperti cara-cara dan praktek pada jaman Jepang, bimas gotong royong yang diadakan pada tahun 1968-1969 disebut bimas gotong royong karena merupakan usaha gotong royong antara pemerintah dan swasta (asing dan nasional) untuk meyelenggarakan intensifikasi pertanian dengan menggunakan metode Bimas (Fakih, 2002:277, Mubyarto, 1987:37). Adapun tujuannya adalah untuk meningkatkan produksi beras dalam waktu sesingkat mungkin dengan mengenalkan bibit padi unggul baru yaitu Peta Baru (PB) 5 dan PB 8.37. Pada jaman penjajahan Belanda juga pernah dilakukan cultuurstelsel, Jepang memaksakan penanaman bibit dari Taiwan. Jadi, rakyat dipaksakan mengikuti kemauan dari pihak penguasa. Cara tersebut kurang lebih sama dengan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sebagai cara untuk menghasilkan panen yang lebih maksimal. Muller (1979:73) menyatakan berdasarkan penelitian yang dilakukan di Indonesia bahwa sebagaian besar masyarakat yang masih hidup dalam kemiskinan, paling-paling hanya bisa memenuhi kebutuhan hidup yang paling minim, dan hampir tidak bisa beradaptasi aktif sedangkan golongan atas hidup dalam kemewahan.

Pendidikan pada masa Belanda, Jepang dan setelah kemerdekaan sulit dicapai oleh orang-orang dari rumah tangga kurang mampu. Mereka diajarkan dan diberi pengetahuan untuk kepentingan pihak penguasa. Mereka dijadikan tenaga kerja yang diandalkan untuk mencapai keuntungan yang maksimal. Setelah jaman kemerdekaan, rakyat dari rumah tangga kurang mampu terus menjadi sumber pemaksaan secara halus untuk pengembangan bibit padi unggul. Pendidikan sebagai alat penguasa untuk mengembangkan program yang dianggap dapat mendukung peningkatan pemasukan pemerintah.


PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA PENJAJAHAN KOLONIAL

Pemerintah Belanda mulai menjajah Indonesia pada tahun 1619 M, yaitu ketika Jan Pieter Zoan Coen menduduki Jakarta. Kemudian belanda satu demi satu memperluas jangkauan jajahannya dengan menjatuhkan penguasa di daerah-daerah.
Jadi kolonialisme di Indonesia dimulai sejak permulaan abad 17 dengan didirikannya Vereenigde Oost indisce Compagnie (VOC) tahun 1602.  VOC melakukan monopoli dan proteksi terhadap hasil bumi milik rakyat, terutama remaph-rempah dengan jumlah dan harga yang ditetapkan oleh VOC. Pemerintah colonial juga mengadakan Cultuur Stelsel (tanam paksa) tahun 1830-1870, sebagai manifestasi dari system perbudakan dan merupakan bencana turun-temurun bagi perkembangan mentalitas dan ekonomi bangsa indonesia.
Kehadiran Belanda di jawa tidak hanya mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia , tetapi juga menekan politik dan kehidupan keagamaan rakyat. Segala aktivitas umat islam yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan ditekan. Belanda terus menerapkan langkah-langkah yang membatasi gerak pengamalan agama islam. Termasuk juga terhadap pendidikan islam sendiri.
Pada zaman kolonial Belanda telah didirikan beraneka macam sekolah, ada yang bernama Sekolah Dasar, Sekolah Kelas II, HIS, MULO, AMS dan lain-lain. Sekolah-sekolah tersebut seluruhnya hanya mengajarkan mata pelajaran umum, tidak memberikan mata pelajaran agama sama sekali, hal ini terkait kebijakan pemerintah colonial Belanda.  Pada tahun 1905 Belanda memberikan aturan bahwa setiap guru agama harus minta izin dahulu. Peraturan itu besar sekali pengaruhnya dalam menghambat perkembangan pendidikan islam.
Pada pertengahan abad 19 pemerintah Belanda mulai menyelenggarakan pendidikan model barat yang diperuntukkan bagi orang-orang Belanda dan sekelompok kecil orang Indonesia (bangsawan).   
Selanjutnya pemerintah memberlakukan politik etis  yang mendirikan dan menyebarluaskan pendidikan rakyat sampai pedesaan. Belanda tidak mengakui para lulusan pendidikan tradisional , sehingga mereka tidak bisa bekerja di pabrik maupun sebagai tenaga birokrat.
Sejarah mencatat bahwa pada masa awal lahirnya islam , umat islam belum memiliki budaya membaca dan menulis karena belum adanya tuntutan dari perkembangan masyarakat. Disisilain tujuan sekolah belanda didirikan adalah untuk menghasilkan tenaga ahli yang dapat bekerja dengan baik namun digaji sangat murah daripada pekerja golongan Belanda yang didatangkan dari negeri Belanda. Inilah kemungkinan yang melatarbelakangi pendidikan formal berorientasi pad akerja dengan sifat-sifatnya kapitalis yang cinta pada harta benda atau sifat materialistic, sehingga mengalami berbagai mal praktek pendidikan yang dilakukan sekarang ini.
Umat islam pada masa itu mengenal dua bentuk lembaga pendidikan yang dikelola umat islam dan yang dikelola colonial. System pendidikan yang dikelola Belanda adalah pendidikan modern liberal dan netral agama. Namun kenetralan Belanda ternyata tidak konsisten karena Belanda lebih melindungi Kristen dari pada islam. Karena mereka menganggap islam memiliki kekuatan politik yang membahayakan mereka. Maka islam senantiasa mengalami tekanan dan selalu diawasi gerak geriknya.
Sikap belanda in didasarkan atas analisi Snouck Hurgronje  yang memilah islam pada tiga kategori yakni dalam arti ibadah, social kemasyarakatan, dan kekuatan politik. Pada kategori yang terakhir ini lah belanda bersikap menekan umat islam.
Kesempatan masyarakatn untuk memperoleh pendidikan pada masa itu didasarkan pada stratifikasi social yang rasial yakni ditentukan oleh kelas keturunan, jabatan, kekayaan, dan pendidikan orang tuanya. Berdasarkan stratifikasi social tersebut pendidikan pada masa colonial ada tiga macam yaitu pendidikan untuk bangsa belanda, pendidikan untuk pribumi kelas priyayi, pendidikan pribumi kelas rendah. Dan sekarang pun masih kita jumpai bahwa pendidikan elit terkesan didominasi kalangan kaya saja. Karena memang kalangan miskin tak mampu membayar semua kelengkapan fasilitas yang ada di dalamnya.
Oleh karenanya hendaknya system kapitalis di lingkungan pendidikan itu disingkirkan dan hendaknya membangkitkan beberapa organisasi islam antara lain Sarekat Islam berupaya mendirikan sekolah yang pada saat dimaksudkan sebagai tempat pendidikan untuk anak-anak anggota SI, karena kedudukan dan tingkat penghasilan orang tuanya memang tidak mungkin mendapat temapt dalam sekolah Hindia Belanda pada waktu itu.
Oleh karena itu pendidikan SI juga merupakan upaya counter attack kepada pihak colonial yang berusaha menganaktirikan kaum inlander dalam bidang pendidikan khususnya dan persamaan hidup pada umumnya.  Sebab saat itu bangsa Indonesia hanya dipandang sebagai penduduk kelas nomor tiga. Kelas nomor tiga adalah suatu kelas yang plaing rendah dalam negeri, dimana ornag Belanda sebagai kelas nomor satu, orang asing (termasuk cina) sebagai kelas nomor dua, sedangkan orang Indonesia sebagai kelas tiga.
Disamping itu system pendidikan yang diterapkan oleh colonial Belanda pada saat itu juga sangat tidak menguntungkan bangsa Indonesia, karena pada dasarnya bertujuan untuk menjadikan warga Negara yang mengabdi kepada kepentingan colonial Belanda.
Kedatangan Belanda di satu pihak memang telah membawa kemajuan teknologi , tetapi teknologi tersebut bukan dinikmati penduduk pribumi, tujuannya hanyalah meningkatkan hasil penjajahannya. Begitu pula dengan pendidikan, mereka telah memperkenalkan system dan metodologi baru, namun semua itu dilakukan sekedar untuk menghasilkan tenaga-tenaga yang daapt membantu segala kepentingan penjajah dengan imbalan yang murah sekali dibandingkan dengan jika mereka harus mendatangkan tenaga dari Barat.

PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA PENJAJAHAN JEPANG

Pendidikan pada zaman jepang disebut Hakku Ichiu yakni mengajak bangsa Indonesia bekerjasama dalam rangka mencapai kemakmuran bersama Asia Raya. Oleh karena itu bagi setiap pelajar setiap hari terutama pada pagi ahri harus mengucapkan sumaph setia kepada kaisar jepang, lalu dilatih kemiliteran.
Jepang mengadakan perubahan di bidang pendidikan, diantaranya menghapuskan dualisme pengajaran. Dengan begitu habislah riwayat penyusunan pengajaran Belanda yang dualistis membedakan antara pengajaran barat dan pengajaran pribumi. Adapun susunan pengajaran menjadi. Pertama, Sekolah Rakyat enam tahun (termasuk sekolah pertama). Kedua , sekolah menengah tiga tahun. Ketiga, sekolah menengah tinggi tiga tahun( SMA pada zaman jepang).  Terbukti bahwa system perjenjangan yang berlaku di Indonesia merupakan warisan masa penjajahan jepang.
Pada awalnya pemerintah jepang mengambil siasat merangkul umat islam sebagi mayoritas penduduk Indonesia. Sikap penjajah jepang terhadap pendidikan islam ternyata lebih lunak, sheingga ruang gerak pendidikan islam lebih bebas. Pesantren-pesantren yang besar sering mendapat kunjungan dan bantuan dari pembesar-pembesar jepang. Sekolah negeri diberi pelajaran budi pekerti yang isinya identik dengan ajaran agama. Pemerintah Jepang juga mengizinkan berdiirnya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang dipimpin oleh KH. Wahid Hasyim, Kahar Muzakir, dan Bung Hatta.
Pada perang dunia II kedudukan Jepang terjepit, akhirnya Jepang mulai menekan dan menjalankan kekerasan terhadap bangsa Indonesia. Jepang lalu memberlakukan romusha (kerja paksa), kemudian jepang membentuk badan-badan pertahanan rakyat semesta . kehidupan rakyat semakin tertindas dan menderita maka lahirlah berbagai pembertontakan.
Namun demikian masih ada beberapa keuntungan di balik kekejaman Jepang tersebut. Bahasa Indonesia hidup dan berkembnag secara luas di seluruh Indonesia, baik sebagai bahasa pergaulan, bahasa pengantar maupun sebagai bahasa ilmiah.
Buku-buku dalam bahasa asing yang diperlukan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kreatifitas guru-guru berkembang dalam memenuhi kekurnagan buku pelajaran dan menyadur atau mengarang sendiri, termasuk kreatifitas untuk menciptakan alat peraga dan model dnegan baha dan alat yang tersedia.
Pendidikan islam di zaman jepang dapat bergerak lebih bebas bila dibandingkan dari zaman belanda. Pada masa penjajahan jepang atas usaha Muhmud Yunus di sumatera barat, dapat disetujui oleh kepala jawatan pengajaran jepang untuk memasukkan pendidikan agama islam ke sekolah-sekolah pemerintah, mulai sekolah dasar.



SUMBER

(http://tinulad.wordpress.com/sedikit-uraian-sejarahpendidikan/)(http://managementaqupresident.blogspot.com/2007/12/reflektivitaspendidikan-kolonial-di.html)http://smart.stkip-persis.ac.id/2009/06/mengintip-sejarah-pendidikan-indonesia-masa-kolonial/comment-page-1/http://michailhuda.multiply.com/journal/item/110/PENDIDIKAN_ISLAM_MASA_PENJAJAHAN_HINGGA_DAMPAKNYA_DIMASA_REFORMASI_NAMUN_TETAP_TERJAJAH.